Ada banyak pandangan mengenai perceraian apakah diijinkan oleh Allah atau tidak, namun apa yang sebenarnya pandangan Alkitab sendiri mengenai hal ini. Berikut ini merupakan pemaparan teologis yang dipresentasikan oleh Pdt. Ekaputra Tupamahu, MA., MDiv dalam Rapat Majelis Pusat Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah di Indonesia pada tanggal 13-16 Januari 2009 semoga akan menambah wawasan untuk memiliki pengertian yang benar mengenai topik ini. Dan perlu diinformasikan bahwa artikel ini bukanlah tulisan kami sendiri melainkan tulisan Pdt. Ekaputra Tupamahu, MA., MDiv. Kami berharap semua pihak dapat mencermatinya sebagai sebuah pemaparan yang baik untuk direnungkan. Dan untuk lebih jelasnya Anda dapat membaca secara lengkap artikel ini dalam format PDF dengan mengklik di sini.
Perceraian telah menjadi persoalan yang amat pelik dalam dunia masa modern ini. Persoalan‐persoalan rumah tangga seperti tidak pernah ada habisnya. Kompleksitas masalah pernikahan menjadi semakin hari semakin rumit untuk dipecahkan. Ada pasangan‐pasangan yang memilih untuk tetap bertahan dalam ikatan rumah tangga mereka, tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Banyak pula yang kemudian memilih untuk menikah kembali dengan berbagai alasan. Menurut sebuah surat kabar elektronik, “Suara Surabaya”, di Indonesia pada tahun 2008 yang lalu ada 200.000 kasus perceraian, dan ini adalah “rekor nomor satu untuk kawasan Asia Pasifik.”1 Berikut ini ada beberapa data statistika tahun 2007 yang ditemukan dari website Direktorat Jendreral Badan Peradilan Agama.
Dari 157.771 kasus perceraian yang diputus pengadilan agama pada tahun 2007, 77.528 kasus dipicu oleh salah satu pihak meninggalkan kewajiban. Meninggalkan kewajiban ini disebabkan oleh karena salah satu pihak tidak bertanggung jawab (48.623 kasus), faktor ekonomi di rumah tangga para pihak (26.510 kasus), dan dikarenakan pula sejarah perkawinan para pihak yang dipaksa oleh orang tua (2.395 kasus). Pemicu kedua adalah perselisihan terus‐menerus. Faktor ini terjadi sebanyak 65.818 kasus. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada peristiswa perceraian ini disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi (55.095 kasus), gangguan pihak ketiga (10.444 kasus) dan faktor politis (281 kasus). (Suara Surabaya, “Perceraian di Indonesia Tiap Tahun 200 Ribu Pasangan” Available from http://www.suarasurabaya.net/v05/kelanakota/?id=e2412b7087dc0bdf5a8415629196d203200744696 di‐access pada tanggal 22 Desember 2008).
Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis keharmonisan rumah tangga. Faktor moral menampati urutan ketiga yang menyebabkan pasangan suami isteri berujung di persidangan pengadilan agama. Grafik diatas menyebutkan bahwa 10.090 kasus perceraian disebabkan oleh persoalan moral. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami melakukan poligami tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), 937 kasus, krisis akhlak (4.269 kasus) dan cemburu yang berlebihan (4.884 kasus). Pemicu ke empat rusaknya simpul perkawinan adalah kekerasan dalam rumah tangga. Terdapat 1.845 kasus perkawinan putus karena faktor ini.
Sedangkan pemicu lainnya adalah karena salah satu pasangan mengalami cacat biologis yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan kewajiban (1.621 kasus), perkawinan di bawah umur (513 kasus), dan salah satu pihak dijatuhi pidana oleh pengadilan (356 kasus). Memang tidak ada data yang tersedia mengenai berapa banyak orang‐orang Kristen yang mengalami kehancuran keluarga di Indonesia. Tetapi kemungkinan besar, pasti ada orang Kristen juga dalam angka tersebut diatas. Di Amerika Serikat, sebuah survey yang diadakan oleh the Barna Group menunjukan bahwa 26% keluarga Kristen lahir baru berakhir dengan perceraian.3 Itu berarti dalam setiap sepuluh keluarga Kristen, ada sekitar dua hingga tiga keluarga yang bercerai. Ini adalah jumlah yang cukup mengejutkan. Dengan angka diatas, paling tidak kita perlu sadar bahwa perceraian sudah mulai menjadi sebuah persoalan masyarakan yang cukup akut di Indonesia. Bagaimana gereja menyikapi persoalan ini? Semua pelayan Tuhan pasti telah menghadapi persoalan seperti ini dalam pelayanan mereka. Tulisan pendek yang cukup sederhana ini didedikasian sebagai sebuah ajakan untuk berdiskusi mengenai persoalan ini dari sudut pandangan Alkitab.
Untuk lebih lengkapnya Anda dapat membacanya di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong tinggalkan komentar di bawah ini...